Istilah ’kepustakawanan’ perlu dibicarakan bersama istilah ‘ilmu perpustakaan’ dalam pembahasan untuk lebih memahami bagaimana sebuah profesi dan ilmu lahir, tumbuh, dan berkembang di masyarakatnya. Kita memakai kata kepustakawanan untuk menerjemahkan kata librarianships, menyesuaikannya dengan kata pustakawan sebagai terjemahan dari librarian.
Di dalam pengertian bahasa aslinya, akhiran –ships mengacu kepada empat artian (makna kata), yaitu:
Namun dalam artian yang lebih spesifik untuk dunia praktik, kita menggunakan salah satu dari keempat artian di atas. Misalnya, di dalam kamus , librarianships diartikan sebagai: a profession concerned with acquiring and organizing collections of books and related materials in libraries and servicing readers and others with these resources; the position or duties of a librarian. (Lihat http://dictionary.reference.com/browse/librarianship)
Dengan definisi di atas, maka librarianships dibatasi pada artian ketiga dan dihubungkan hanya dengan profesi atau kekaryaan. Ini sebenarnya adalah artian yang sangat sempit, walaupun sebagian besar masyarakat memang mengartikannya begitu.
Secara sederhana, dari artian-artian sempit maupun luas di atas, kita dapat membayangkan bahwa librarianships atau kepustakawanan memang berintikan sebuah profesi, yaitu pustakawan. Namun profesi ini tidak berada dalam kekosongan, melainkan di dalam sebuah masyarakat yang berisikan berbagai nilai tentang kualitas, kehormatan, dan kebersamaan. Dalam konferensi IFLA di New Delhi pada 24 – 28 Agustus 1992 terlihat dengan jelas betapa kepustakawanan diartikan secara lebih luas:
Kedua pihak melakukan kegiatan ini secara interaktif dan berulang-ulang dalam sebuah rentang waktu dan ruang, sehingga membentuk pola tertentu di suatu masyarakat. Giddens menyatakan keterpolaan ini sebagai ‘institusi’ (1989, h. 19).
Kita perlu memperjelas arti ‘institusi’ di sini, supaya jangan berkesan bahwa sebuah institusi adalah bentuk fisik dari gedung, atau sebuah badan pemerintahan. Ada dua hal utama yang membentuk sebuah institusi, yakni struktur masyarakat itu dan aktor (atau agen), yaitu individu-individu di dalam masyarakat.
Dalam sebuah sistem sosial, para aktor menggunakan struktur untuk bertindak. Pada saat yang sama, struktur adalah hasil dari tindakan karena aturan-aturan dan sumberdaya dalam sebuah sistem terwujud jika ditaati dan dilaksanakan oleh anggota-anggota sistem. Dengan kata lain, struktur secara terus-menerus terwujudkan sebagai aksi (enacted) dan diulang-wujudkan (re-enacted) di dalam dan melalui interaksi.
Kita musti ingat, struktur di sini adalah tata-aturan, termasuk nilai dan norma, serta sumberdaya, baik sumberdaya fisik maupun non-fisik, yang dipakai bersama sebuah masyarakat. Kepustakawanan sebagai struktur adalah segala aturan, nilai, norma, fasilitas, teknik, gedung, dan sebagainya. Misalnya, jam buka perpustakaan adalah aturan, kemerdekaan berpikir adalah nilai, bersikap tertib dan sopan di ruang perpustakaan adalah norma, akses ke Internet adalah fasilitas, cara membuat OPAC adalah teknik, dan sebagainya.
Kita juga musti ingat, struktur (aturan, nilai, norma, fasilitas, teknik) ini harus disepakati oleh aktor-aktor (pustakawan, pegawai, anggota perpustakaan, birokrat, teknolog), lalu harus diwujudkan atau dipraktikkan berulang-ulang (enacted and re-enacted). Kesepakatan dan perwujudan secara berulang-ulang inilah yang disebut institusi kepustakawanan. Kalau tidak ada (atau kurang ada) kesepakatan dan keterulangan, maka tidak ada (atau kurang ada) kepustakawanan.
Sebaiknya kita melihat teknologi bukan semata-mata mesin. Pacey (1983) sudah menegaskan teknologi lebih tepat disebut technology practice. Sebagian besar masyarakat hanya melihat teknologi dalam arti terbatas (sempit), yang mengandung di dalamnya alat atau mesin, selain juga pengetahuan dan keterampilan menggunakan alat atau mesin tersebut. Padahal teknologi ’sempit’ ini bersinggungan dengan aspek budaya dan aspek organisasional untuk menjadi sebuah aktivitas yang terus menerus dan meluas di sebuah masyarakat. Itu sebabnya Pacey menegaskan, teknologi adalah kebiasaan sosial (social practice).
Memakai cara pandang Pacey di atas, kita dapat melihat kepustakawanan sebagai technology practice, khususnya untuk teknologi komunikasi (termasuk telekomunikasi) dan informasi. Misalnya buku (dan kini e-book) adalah ‘teknologi sempit’ yang dihasilkan oleh teknik-teknik percetakan (dan kini komputer). Teknik-teknik percetakan dan komputer yang menghasilkan buku dan e-book ini sendiri lahir di laboratorium-laboratorium yang dihuni oleh komunitas ilmuwan (misalnya komunitas ilmuwan kimia yang menghasilkan temuan tentang tinta cetak, dan komunitas ilmuwan elektronik yang menghasilkan temuan tentang portable reader untuk e-book).
Buku dan e-book, atau koran elektronik dan digital television, akan tetap menjadi ‘teknologi sempit’ kalau tidak bersinggungan dengan sistem yang lebih luas, yang di dalamnya mengandung aspek sosial, budaya dan aspek organisasional. Ketika buku menjadi bagian dari koleksi fisik perpustakaan, bersama dengan e-book menjadi koleksi digitalnya, dan koran serta televisi tersedia di ruang baca, maka terbentuklah technology practice berupa kepustakawanan.
Tentu saja, benda-benda teknologi ini pada saat sama juga menjadi bagian dari berbagai technology practice lainnya, seperti industri buku, komunikasi massa, dan pemilihan umum karena pemilihan umum moderen akhirnya melibatkan media massa, dan sekarang juga Internet; para calon presiden Amerika Serikat kini tampil di You-tube. Lalu, sebagaimana terjadi di Indonesia, You-tube juga menimbulkan kontroversi luas. Teknologi yang tadinya ’sempit’ akhirnya menjadi persoalan sosial.
Kepustakawanan sebenarnya juga adalah ‘persoalan sosial’ (walaupun tidak selalu kontroversial) yang berkaitan dengan teknologi juga. Kehadiran komputer dan Internet menimbulkan konfigurasi baru, tata aturan, nilai, dan norma baru, selain fasilitas baru. Keseluruhan praktik, persoalan, perdebatan, pemanfaatan, penolakan, dan segala hiruk-pikuk inilah yang mewarnai sebuah kepustakawanan.
Sedemikian hiruk pikuknya persoalan itu, sehingga selalu muncul keinginan untuk memahami dan menemukan solusi di bidang kepustakawanan. Keinginan ini amat kuat dan amat penting, sehingga lahirlah apa yang sekarang kita sebut Ilmu Perpustakaan.
Sumber : http://iperpin.wordpress.com/kepustakawanan/
Bacaan:
Di dalam pengertian bahasa aslinya, akhiran –ships mengacu kepada empat artian (makna kata), yaitu:
- Keadaan atau kualitas sesuatu, misalnya dalam kata companionships (kesetiakawanan, keadaan atau kualitas perkawanan atau pertemanan).
- Status, formalitas, atau kehormatan, misalnya dalam kata citizenships (kewarganegaraan, status atau kehormatan sebagai warganegara).
- Tingkatan keterampilan dalam kapasitas melakukan pekerjaan tertentu, misalnya dalam kata workmanships (kekaryaan, keterampilan dan kapasitas sebagai pekerja).
- Keberkumpulan atau kebersamaan, misalnya dalam kata memberships (keanggotaan, kebersamaan di dalam satu perkumpulan tertentu). (Lihat http://dictionary.reference.com/browse/-ship)
Namun dalam artian yang lebih spesifik untuk dunia praktik, kita menggunakan salah satu dari keempat artian di atas. Misalnya, di dalam kamus , librarianships diartikan sebagai: a profession concerned with acquiring and organizing collections of books and related materials in libraries and servicing readers and others with these resources; the position or duties of a librarian. (Lihat http://dictionary.reference.com/browse/librarianship)
Dengan definisi di atas, maka librarianships dibatasi pada artian ketiga dan dihubungkan hanya dengan profesi atau kekaryaan. Ini sebenarnya adalah artian yang sangat sempit, walaupun sebagian besar masyarakat memang mengartikannya begitu.
Secara sederhana, dari artian-artian sempit maupun luas di atas, kita dapat membayangkan bahwa librarianships atau kepustakawanan memang berintikan sebuah profesi, yaitu pustakawan. Namun profesi ini tidak berada dalam kekosongan, melainkan di dalam sebuah masyarakat yang berisikan berbagai nilai tentang kualitas, kehormatan, dan kebersamaan. Dalam konferensi IFLA di New Delhi pada 24 – 28 Agustus 1992 terlihat dengan jelas betapa kepustakawanan diartikan secara lebih luas:
- Pustakawan bekerja berdasarkan etos-etos kemanusiaan, humanistic ethos yang dianggap sebagai elan kepustakawanan, sebagai lawan dari kegiatan pertukangan.
- Pustakawan sebagai fasilitator kelancaran arus informasi dan pelindung hak asasi manusia dalam akses ke informasi.
- Pustakawan memperlancar proses transformasi dari informasi dan pengetahuan menjadi kecerdasan sosial atau social intelligence.
Kepustakawanan dan Sistem Sosial
Kadang-kadang, karena terlalu berkonsentrasi pada kegiatan teknis perpustakaan, kita lupa bahwa kepustakawanan sebenarnya adalah kegiatan antar manusia, yang berpusaran pada aktivitas-aktivitas menyimpan dan menata pustaka bagi keperluan para pencari informasi. Dikatakan sebagai antar manusia, karena setidaknya ada dua pihak yang terlibat di sini, yakni orang-orang yang melakukan penyimpanan dan penataan itu (pustakawan) dan orang-orang yang mencari informasi (pemakai).Kedua pihak melakukan kegiatan ini secara interaktif dan berulang-ulang dalam sebuah rentang waktu dan ruang, sehingga membentuk pola tertentu di suatu masyarakat. Giddens menyatakan keterpolaan ini sebagai ‘institusi’ (1989, h. 19).
Kita perlu memperjelas arti ‘institusi’ di sini, supaya jangan berkesan bahwa sebuah institusi adalah bentuk fisik dari gedung, atau sebuah badan pemerintahan. Ada dua hal utama yang membentuk sebuah institusi, yakni struktur masyarakat itu dan aktor (atau agen), yaitu individu-individu di dalam masyarakat.
Struktur sosial adalah tata aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang dipakai oleh aktor-aktor individual dalam masyarakat ketika mereka melakukan tindakan-tindakan (actions). Pada saat yang sama, tata-aturan dan sumberdaya itu sendiri adalah buatan dan hasil negosiasi antar individu itu pula, sehingga terjadilah hubungan ganda (duality) antara struktur dan agen.Di dalam sebuah masyarakat, kepustakawanan juga adalah sistem sosial, dalam wujud interaksi dan kegiatan antar aktor (‘aktor pustakawan’ dan ‘aktor anggota masyarakat’) yang terus menerus dilakukan (diproduksi) dan diulang-lakukan (reproduksi). Semua ini bisa disebut praktik-praktik sosial (social practices) yang teratur sepanjang ruang dan waktu.
Dalam sebuah sistem sosial, para aktor menggunakan struktur untuk bertindak. Pada saat yang sama, struktur adalah hasil dari tindakan karena aturan-aturan dan sumberdaya dalam sebuah sistem terwujud jika ditaati dan dilaksanakan oleh anggota-anggota sistem. Dengan kata lain, struktur secara terus-menerus terwujudkan sebagai aksi (enacted) dan diulang-wujudkan (re-enacted) di dalam dan melalui interaksi.
Kita musti ingat, struktur di sini adalah tata-aturan, termasuk nilai dan norma, serta sumberdaya, baik sumberdaya fisik maupun non-fisik, yang dipakai bersama sebuah masyarakat. Kepustakawanan sebagai struktur adalah segala aturan, nilai, norma, fasilitas, teknik, gedung, dan sebagainya. Misalnya, jam buka perpustakaan adalah aturan, kemerdekaan berpikir adalah nilai, bersikap tertib dan sopan di ruang perpustakaan adalah norma, akses ke Internet adalah fasilitas, cara membuat OPAC adalah teknik, dan sebagainya.
Kita juga musti ingat, struktur (aturan, nilai, norma, fasilitas, teknik) ini harus disepakati oleh aktor-aktor (pustakawan, pegawai, anggota perpustakaan, birokrat, teknolog), lalu harus diwujudkan atau dipraktikkan berulang-ulang (enacted and re-enacted). Kesepakatan dan perwujudan secara berulang-ulang inilah yang disebut institusi kepustakawanan. Kalau tidak ada (atau kurang ada) kesepakatan dan keterulangan, maka tidak ada (atau kurang ada) kepustakawanan.
Kepustakawanan dan Teknologi Informasi
Lalu bagaimana dengan teknologi yang digunakan di perpustakaan? Apakah kepustakawanan tidak mengandung teknologi atau dibicarakan secara terpisah dari teknologi informasi?Sebaiknya kita melihat teknologi bukan semata-mata mesin. Pacey (1983) sudah menegaskan teknologi lebih tepat disebut technology practice. Sebagian besar masyarakat hanya melihat teknologi dalam arti terbatas (sempit), yang mengandung di dalamnya alat atau mesin, selain juga pengetahuan dan keterampilan menggunakan alat atau mesin tersebut. Padahal teknologi ’sempit’ ini bersinggungan dengan aspek budaya dan aspek organisasional untuk menjadi sebuah aktivitas yang terus menerus dan meluas di sebuah masyarakat. Itu sebabnya Pacey menegaskan, teknologi adalah kebiasaan sosial (social practice).
Memakai cara pandang Pacey di atas, kita dapat melihat kepustakawanan sebagai technology practice, khususnya untuk teknologi komunikasi (termasuk telekomunikasi) dan informasi. Misalnya buku (dan kini e-book) adalah ‘teknologi sempit’ yang dihasilkan oleh teknik-teknik percetakan (dan kini komputer). Teknik-teknik percetakan dan komputer yang menghasilkan buku dan e-book ini sendiri lahir di laboratorium-laboratorium yang dihuni oleh komunitas ilmuwan (misalnya komunitas ilmuwan kimia yang menghasilkan temuan tentang tinta cetak, dan komunitas ilmuwan elektronik yang menghasilkan temuan tentang portable reader untuk e-book).
Buku dan e-book, atau koran elektronik dan digital television, akan tetap menjadi ‘teknologi sempit’ kalau tidak bersinggungan dengan sistem yang lebih luas, yang di dalamnya mengandung aspek sosial, budaya dan aspek organisasional. Ketika buku menjadi bagian dari koleksi fisik perpustakaan, bersama dengan e-book menjadi koleksi digitalnya, dan koran serta televisi tersedia di ruang baca, maka terbentuklah technology practice berupa kepustakawanan.
Tentu saja, benda-benda teknologi ini pada saat sama juga menjadi bagian dari berbagai technology practice lainnya, seperti industri buku, komunikasi massa, dan pemilihan umum karena pemilihan umum moderen akhirnya melibatkan media massa, dan sekarang juga Internet; para calon presiden Amerika Serikat kini tampil di You-tube. Lalu, sebagaimana terjadi di Indonesia, You-tube juga menimbulkan kontroversi luas. Teknologi yang tadinya ’sempit’ akhirnya menjadi persoalan sosial.
Kepustakawanan sebenarnya juga adalah ‘persoalan sosial’ (walaupun tidak selalu kontroversial) yang berkaitan dengan teknologi juga. Kehadiran komputer dan Internet menimbulkan konfigurasi baru, tata aturan, nilai, dan norma baru, selain fasilitas baru. Keseluruhan praktik, persoalan, perdebatan, pemanfaatan, penolakan, dan segala hiruk-pikuk inilah yang mewarnai sebuah kepustakawanan.
Sedemikian hiruk pikuknya persoalan itu, sehingga selalu muncul keinginan untuk memahami dan menemukan solusi di bidang kepustakawanan. Keinginan ini amat kuat dan amat penting, sehingga lahirlah apa yang sekarang kita sebut Ilmu Perpustakaan.
Sumber : http://iperpin.wordpress.com/kepustakawanan/
Bacaan:
Giddens, A. (1989), Sociology, Basil Blackwell : Cambridge.
Pacey, Arnold (1983), The Culture of Technology, Basil Blackwell : Oxford