PROFIL

Foto saya
Tasikmalaya, Jawa barat, Indonesia
Visi : Menjadikan Arsip dan Perpustakaan Sebagai Pusat Informasi

Senin, 29 Maret 2010

Kepustakawanan

Istilah ’kepustakawanan’ perlu dibicarakan bersama istilah ‘ilmu perpustakaan’  dalam pembahasan untuk lebih memahami bagaimana sebuah profesi dan ilmu lahir, tumbuh, dan berkembang di masyarakatnya. Kita memakai kata kepustakawanan untuk menerjemahkan kata librarianships, menyesuaikannya dengan kata pustakawan sebagai terjemahan dari librarian.
Di dalam pengertian bahasa aslinya, akhiran –ships mengacu kepada empat artian (makna kata), yaitu:
  • Keadaan atau kualitas sesuatu, misalnya dalam kata companionships (kesetiakawanan, keadaan atau kualitas perkawanan atau pertemanan).
  • Status, formalitas, atau kehormatan, misalnya dalam kata citizenships (kewarganegaraan, status atau kehormatan sebagai warganegara).
  • Tingkatan keterampilan dalam kapasitas melakukan pekerjaan tertentu, misalnya dalam kata workmanships (kekaryaan, keterampilan dan kapasitas sebagai pekerja).
  • Keberkumpulan atau kebersamaan, misalnya dalam kata memberships (keanggotaan, kebersamaan di dalam satu perkumpulan tertentu). (Lihat http://dictionary.reference.com/browse/-ship)
Dengan empat artian tersebut, maka kepustakawanan sebenarnya mengandung pengertian kualitas (artian pertama) dan rasa hormat atau respek masyarakat (artian kedua) terhadap sebuah profesi, yakni profesi pustakawan.  Selain itu, kepustakawanan juga memperlihatkan kebanggaan dan keanggotaan sebagai pustakawan, sebagaimana yang terdapat dalam artian terakhir.
Namun dalam artian yang lebih spesifik untuk dunia praktik, kita menggunakan salah satu dari keempat artian di atas. Misalnya, di dalam kamus , librarianships diartikan sebagai: a profession concerned with acquiring and organizing collections of books and related materials in libraries and servicing readers and others with these resources; the position or duties of a librarian. (Lihat http://dictionary.reference.com/browse/librarianship)
Dengan definisi di atas, maka librarianships dibatasi pada artian ketiga dan dihubungkan hanya dengan profesi atau kekaryaan. Ini sebenarnya adalah artian yang sangat sempit, walaupun sebagian besar masyarakat memang mengartikannya begitu.
Secara sederhana, dari artian-artian sempit maupun luas di atas, kita dapat membayangkan bahwa librarianships atau kepustakawanan memang berintikan sebuah profesi, yaitu pustakawan. Namun profesi ini tidak berada dalam kekosongan, melainkan di dalam sebuah masyarakat yang berisikan berbagai nilai tentang kualitas, kehormatan, dan kebersamaan. Dalam konferensi IFLA di New Delhi pada 24 – 28 Agustus 1992 terlihat dengan jelas betapa kepustakawanan diartikan secara lebih luas:
  • Pustakawan bekerja berdasarkan etos-etos kemanusiaan, humanistic ethos yang dianggap sebagai elan kepustakawanan, sebagai lawan dari kegiatan pertukangan. 
  • Pustakawan sebagai fasilitator kelancaran arus informasi dan pelindung hak asasi manusia dalam akses ke informasi.
  • Pustakawan memperlancar proses transformasi dari informasi dan pengetahuan menjadi kecerdasan sosial atau social intelligence.
Dari ketiga pendapat di atas, terlihat bahwa kepustakawanan berkaitan dengan kualitas hidup manusia, terutama kualitas intelektual.

Kepustakawanan dan Sistem Sosial

Kadang-kadang, karena terlalu berkonsentrasi pada kegiatan teknis perpustakaan, kita lupa bahwa kepustakawanan sebenarnya adalah kegiatan antar manusia, yang berpusaran pada aktivitas-aktivitas menyimpan dan menata pustaka bagi keperluan para pencari informasi. Dikatakan sebagai antar manusia, karena setidaknya ada dua pihak yang terlibat di sini, yakni orang-orang yang melakukan penyimpanan dan penataan itu (pustakawan) dan orang-orang yang mencari informasi (pemakai).
Kedua pihak melakukan kegiatan ini secara interaktif dan berulang-ulang dalam sebuah rentang waktu dan ruang, sehingga membentuk pola tertentu di suatu masyarakat. Giddens menyatakan keterpolaan ini sebagai ‘institusi’ (1989, h. 19).
Kita perlu memperjelas arti ‘institusi’ di sini, supaya jangan berkesan bahwa sebuah institusi adalah bentuk fisik dari gedung, atau sebuah badan pemerintahan. Ada dua hal utama yang membentuk sebuah institusi, yakni struktur masyarakat itu dan aktor (atau agen), yaitu individu-individu di dalam masyarakat.
Struktur sosial adalah tata aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang dipakai oleh aktor-aktor individual dalam masyarakat ketika mereka melakukan tindakan-tindakan (actions). Pada saat yang sama, tata-aturan dan sumberdaya itu sendiri adalah buatan dan hasil negosiasi antar individu itu pula, sehingga terjadilah hubungan ganda (duality) antara struktur dan agen. 
Di dalam sebuah masyarakat, kepustakawanan juga adalah sistem sosial, dalam wujud interaksi dan kegiatan antar aktor (‘aktor pustakawan’ dan ‘aktor anggota masyarakat’) yang terus menerus dilakukan (diproduksi) dan diulang-lakukan (reproduksi). Semua ini bisa disebut praktik-praktik sosial (social practices) yang teratur sepanjang ruang dan waktu.
Dalam sebuah sistem sosial, para aktor menggunakan struktur untuk bertindak. Pada saat yang sama, struktur adalah hasil dari tindakan karena aturan-aturan dan sumberdaya dalam sebuah sistem terwujud jika ditaati dan dilaksanakan oleh anggota-anggota sistem. Dengan kata lain, struktur secara terus-menerus terwujudkan sebagai aksi (enacted) dan diulang-wujudkan (re-enacted) di dalam dan melalui interaksi.
Kita musti ingat, struktur di sini adalah tata-aturan, termasuk nilai dan norma,  serta sumberdaya, baik sumberdaya fisik maupun non-fisik, yang dipakai bersama sebuah masyarakat. Kepustakawanan sebagai struktur adalah segala aturan, nilai, norma, fasilitas, teknik, gedung, dan sebagainya. Misalnya, jam buka perpustakaan adalah aturan, kemerdekaan berpikir adalah nilai, bersikap tertib dan sopan di ruang perpustakaan adalah norma, akses ke Internet adalah fasilitas, cara membuat OPAC adalah teknik, dan sebagainya.
Kita juga musti ingat, struktur (aturan, nilai, norma, fasilitas, teknik) ini harus disepakati oleh aktor-aktor (pustakawan, pegawai, anggota perpustakaan, birokrat, teknolog), lalu harus diwujudkan atau dipraktikkan berulang-ulang (enacted and re-enacted). Kesepakatan dan perwujudan secara berulang-ulang inilah yang disebut institusi kepustakawanan. Kalau tidak ada (atau kurang ada) kesepakatan dan keterulangan, maka tidak ada (atau kurang ada) kepustakawanan.

Kepustakawanan dan Teknologi Informasi

Lalu bagaimana dengan teknologi yang digunakan di perpustakaan? Apakah kepustakawanan tidak mengandung teknologi atau dibicarakan secara terpisah dari teknologi informasi?
Sebaiknya kita melihat teknologi bukan semata-mata mesin. Pacey (1983) sudah menegaskan teknologi lebih tepat disebut technology practice. Sebagian besar masyarakat hanya melihat teknologi dalam arti terbatas (sempit), yang mengandung di dalamnya alat atau mesin, selain juga pengetahuan dan keterampilan menggunakan alat atau mesin tersebut. Padahal teknologi ’sempit’ ini bersinggungan dengan aspek budaya dan aspek organisasional untuk menjadi sebuah aktivitas yang terus menerus dan meluas di sebuah masyarakat. Itu sebabnya Pacey menegaskan, teknologi adalah kebiasaan sosial (social practice).
Memakai cara pandang Pacey di atas, kita dapat melihat kepustakawanan sebagai technology practice, khususnya untuk teknologi komunikasi (termasuk telekomunikasi) dan informasi. Misalnya buku (dan kini e-book) adalah ‘teknologi sempit’ yang dihasilkan oleh teknik-teknik percetakan (dan kini komputer). Teknik-teknik percetakan dan komputer yang menghasilkan buku dan e-book ini sendiri lahir di laboratorium-laboratorium yang dihuni oleh komunitas ilmuwan (misalnya komunitas ilmuwan kimia yang menghasilkan temuan tentang tinta cetak, dan komunitas ilmuwan elektronik yang menghasilkan temuan tentang portable reader untuk e-book).
Buku dan e-book, atau koran elektronik dan digital television, akan tetap menjadi ‘teknologi sempit’ kalau tidak bersinggungan dengan sistem yang lebih luas, yang di dalamnya mengandung aspek sosial, budaya dan aspek organisasional. Ketika buku menjadi bagian dari koleksi fisik perpustakaan, bersama dengan e-book menjadi koleksi digitalnya, dan koran serta televisi tersedia di ruang baca, maka terbentuklah technology practice berupa kepustakawanan.
Tentu saja, benda-benda teknologi ini pada saat sama juga menjadi bagian dari berbagai technology practice lainnya, seperti industri buku, komunikasi massa, dan pemilihan umum karena pemilihan umum moderen akhirnya melibatkan media massa, dan sekarang juga Internet; para calon presiden Amerika Serikat kini tampil di You-tube. Lalu, sebagaimana terjadi di Indonesia, You-tube juga menimbulkan kontroversi luas. Teknologi yang tadinya ’sempit’ akhirnya menjadi persoalan sosial.
Kepustakawanan sebenarnya juga adalah ‘persoalan sosial’ (walaupun tidak selalu kontroversial) yang berkaitan dengan teknologi juga. Kehadiran komputer dan Internet menimbulkan konfigurasi baru, tata aturan, nilai, dan norma baru, selain fasilitas baru. Keseluruhan praktik, persoalan, perdebatan, pemanfaatan, penolakan, dan segala hiruk-pikuk inilah yang mewarnai sebuah kepustakawanan.
Sedemikian hiruk pikuknya persoalan itu, sehingga selalu muncul keinginan untuk memahami dan menemukan solusi di bidang kepustakawanan. Keinginan ini amat kuat dan amat penting, sehingga lahirlah apa yang sekarang kita sebut Ilmu Perpustakaan.

Sumber : http://iperpin.wordpress.com/kepustakawanan/
Bacaan:
Giddens, A. (1989), Sociology, Basil Blackwell : Cambridge.
Pacey, Arnold (1983), The Culture of Technology, Basil Blackwell : Oxford

Minggu, 28 Maret 2010

Baca, lah ! Taat, lah !

Buku dan agama -dan ini berarti agama apa pun- jelas adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sulit membayangkan kehadiran buku dalam peradaban manusia tanpa mengaitkannya dengan kelahiran agama-agama besar. Lebih sulit lagi membayangkan agama yang tidak berkitab. Semua agama memiliki kitab dan tentu saja kitab itu adalah buku juga adanya. Dari sini, mudah sekali menyimpulkan bahwa orang yang beragama sebenarnya adalah orang yang membaca. Mudah pula menyimpulkan: seseorang akan membaca untuk menjadikan dirinya beragama.
Sebelum peradaban menjadi seperti sekarang, kegiatan “membaca” (memayar huruf-huruf di atas kertas dan memahaminya) bahkan dapat dikatakan mutlak kegiatan beragama. Sebelum ada banyak buku tentang banyak hal, seringkali hanya ada satu buku di sebuah masyarakat, dan buku itu hampir pasti adalah buku religius. Untuk sebagian masyarakat tertentu, sampai kini seringkali hanya ada satu atau dua buku yang mereka anggap patut disebut “bahan bacaan”.
Tentu saja, setelah peradaban semakin maju, tak hanya buku religius yang hadir di kehidupan manusia. Bahkan tak hanya buku kertas, ada televisi dan komputer (dan gabungan keduanya!), dan ada berbagai media elektronik maupun digital yang sudah membuat jagat informasi ini penuh sesak. Lalu, kegiatan “membaca” itu sendiri akhirnya tak lagi merupakan kegiatan yang dianggap hanya berkaitan dengan agama. Bahkan, seringkali kita tercenung kalau melihat kenyataan bahwa “membaca untuk meningkatkan kemampuan beragama” saat ini justru lebih sedikit daripada membaca untuk berbagai keperluan lain.
Ditambah lagi, selama ini kita mengartikan “membaca” sebagai kegiatan membaca buku selain kitab suci. Bahkan kemampuan membaca yang kita jadikan landasan untuk menghitung tingkat melek-huruf adalah kemampuan membaca buku-buku teknis, manual, dan suratkabar. Demikian pula, orang-orang yang gemar berbicara tentang “minat baca” seringkali menggunakan ukuran tentang jumlah buku secara umum, dan jarang terusik untuk memperhatikan minat masyarakat pada kitab suci. Kita baru berpikir tentang “membaca” dan “beragama” pada saat-saat khusus, misalnya di bulan suci, atau menjelang hari raya.
Walaupun demikian, kita tetap dapat mengaitkan kegiatan membaca dengan religi, terutama jika kita mengaitkannya dengan cara membaca. Dalam hal ini, menarik untuk disimak, ulasan-ulasan John Milton, filsuf Inggris yang lebih terkenal karena buku-buku politiknya itu. Ada sebuah buku berjudul Milton and the Spiritual Reader: Reading and Religion in Seventeenth-Century England karangan David Ainsworth (Routledge, 2008) yang khusus membahas tulisan John Milton tentang kegiatan membaca religius. Selain mengamati kehidupan politik, Milton rupanya juga mempelajari pola kegiatan membaca di Inggris pada Abad 17.
Menurut Milton, agama dan kegiatan religius lah yang sebenarnya melahirkan kebiasaan membaca secara seksama. Pengertian orang tentang membaca secara sungguh-sungguh, dengan konsentrasi penuh, di tengah suasana hening dan khusyuk, datang dari institusi-institusi religius. Membaca dengan seksama dan khusyuk ini juga berkaitan dengan keimanan. Seseorang dapat meningkatkan pemahaman dan keimanan beragamanya jika orang itu mengambil sikap tekun dalam membaca, sekaligus memusatkan kepercayaannya pada agamanya. Lebih jauh lagi, Milton berpendapat bahwa ketekunan membaca buku agama ini juga harus disertasi satu sikap kritis terhadap segala hal yang tidak datang dari sabda Tuhan. Dengan kata lain, sebenarnya ada kaitan antara “membaca” dan “ketaatan”.
Sebelum umat manusia mengaitkan “membaca” dengan “pengetahuan” dan segala hal yang berhubungan dengan “ilmu”, terlebih dahulu pihak-pihak penyelenggara kegiatan beragama (para pengkhotbah, pendakwah, pendeta, dan sebagainya) mengaitkan “membaca” dengan keimanan dan ketaatan. Secara spesifik pula, kaum penyelenggara institusi religius mengembangkan teknik membaca yang kini lazim disebut sebagai Close Reading. Secara umum dapat dikatakan, close reading adalah membaca dengan tekun dan seksama. Ini sangat berbeda dibandingkan membaca untuk kesenangan (leisure reading) atau membaca untuk mendapatkan informasi (informative reading) dan membangun pemahaman (constructive reading).
Dalam perkembangan selanjutnya, cara membaca yang tekun dan seksama ini akhirnya menyebar ke segala bidang kehidupan. Beberapa ciri close reading kini juga sering dikaitkan secara spesifik ke membaca sastra. Sebuah situs di Internet, misalnya mengatakan:
  1. Close reading is the most important skill you need for any form of literary studies. It means paying especially close attention to what is printed on the page. It is a much more subtle and complex process than the term might suggest.
  2. Close reading means not only reading and understanding the meanings of the individual printed words; it also involves making yourself sensitive to all the nuances and connotations of language as it is used by skilled writers.
  3. This can mean anything from a work’s particular vocabulary, sentence construction, and imagery, to the themes that are being dealt with, the way in which the story is being told, and the view of the world that it offers. It involves almost everything from the smallest linguistic items to the largest issues of literary understanding and judgement.
(lihat http://www.mantex.co.uk/samples/closeread.htm)
Dari tiga butir di atas, terlihatlah bahwa close reading merupakan sebuah kegiatan yang cukup rumit dan memerlukan teknik tertentu. Tujuannya pun lebih spesifik dan terfokus, yaitu pada kemampuan linguistik yang lebih “tinggi” daripada sekadar mengenali makna kata. Seseorang dianggap melakukan close reading jika ia betul-betul dapat “merasakan” nuansa dari bacaannya dan secara linguistik “bersatu” dengan penulisnya. Dari kegiatan membaca seperti ini, maka terciptalah kesepahaman yang erat antara penulis dan pembaca. Bisa dibayangkan, mengapa dahulu pihak penyelenggara institusi religius sangat berkepentingan dengan cara membaca close reading  -karena mereka memang ingin “menyatukan” umat dengan Penciptanya lewat bacaan di kitab suci.
Saat ini, ketika buku tak hanya menyangkut agama, teknik close reading lebih banyak dikaitkan dengan sastra, budaya, dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Sebuah situs (http://theliterarylink.com/closereading.html), misalnya, mengaitkan close reading dengan upaya mengungkap pola, problema, paradigma, teka-teki, dan persepsi yang terkandung di setiap bacaan atau tontonan. Istilah yang lebih khusus pun kini ada, yaitu explication de texte dan melibatkan tak kurang dari upaya memahami 12 butir penting dalam sebuah bacaan, yaitu:
  1. Figurative Language – ungkapan-ungkapan khas. 
  2. Diction – atau diksi, menyangkut perbendaharaan kata, pengalimatan, dan sebagainya.
  3. Literal content – kandungan utama dari sebuah karya.
  4. Structure – cara sebuah karya disusun.
  5. Style – gaya bahasa, gaya penuturan.
  6. Characterization - penokohan dan kepribadian yang muncul darinya 
  7. Tone – nada penyampaian cerita.
  8. Assessment – atau penilaian awal tentang kandungan bacaan.
  9. Context – kaitan antara sebuah karya dengan karya lainnya.
  10. Texture – keseluruhan cara yang digunakan penulis untuk membangun karyanya sebagai sebuah kesan dan pesan.
  11. Theme – tema, gagasan utama.
  12. Thesis – atau pernyataan usulan tentang pemikiran yang terkandung dalam sebuah karya.
Pada akhirnya terlihat bahwa “membaca” sebagaimana yang diulas oleh situs tersebut, bukanlah kegiatan main-main. Sebagaimana juga diulas di situs lain ( http://web.cn.edu/kwheeler/reading_lit.html), orang yang akan melakukan close reading memerlukan persiapan yang cukup. Melalui close reading orang berharap dapat membangun pemahaman yang lebih kokoh tentang sesuatu. Dengan kata lain, close reading ini memang bersifat lebih “dalam” dan mendasar, katimbang membaca cepat atau membaca sambil lalu.
Hanya saja, kini close reading tak melulu berkaitan dengan keimanan dan ketaatan beragama, walaupun sebenarnya teknik membaca yang tekun ini dahulu merupakan teknik khusus untuk belajar agama. Selain itu, perkembangan perbukuan akhirnya melahirkan ketaatan-ketaatan baru. Orang kini tak hanya taat pada agamanya, tetapi juga pada ilmu, pada ideologi politik, dan bahkan pada gaya hidup.
Mungkin di situlah ironinya.

Ditulis oleh putubuku di/pada September 7, 2008
Sumber : http://iperpin.wordpress.com/2008/09/07/baca-lah-taat-lah/

Kamis, 18 Maret 2010

Brain Power Permainan Kreaif untuk Prasekolah : Koleksi Perpustakaan Kota Tasikmalaya

Judul : Brain Power Permainan Kreaif untuk Prasekolah
Editor : Kathy Charner & Maureen Murphy
Lokasi Penempatan : 155.4  CHA b
Brain Power : Permainan kreatif untuk prasekolah ini memberikan panduan aktivitas yang sesuai dengan kebutuhan dan minat anak usia tiga tahun. Dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat ini, guru-guru harus menyiapkan berbagai peralatan dan trik juga energi yang tinggi
Buku ini  berisi 300 aktivitas yang dapat memberikan inspirasi bagi orang tua dan guru untuk diterapkan bersama anak-anak. Semua kegiatan tersebut dirancang untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar anak, dan tentu saja tanpa harus kehilangan saat-saat menyenangkan bersama keluarga dan teman-temannya.

BUKU INI DAPAT ANDA BACA DI PERPUSTAKAAN KOTA TASIKMALAYA

Rabu, 17 Maret 2010

Koleksi Buku Baru Perpustakaan Kota Tasikmalaya

Judul Buku : Mengajar dengan senang
Pengarang : Gene E. Hall; Linda F. Quinn; Donna M. Gollnick
Impresum : Jakarta : Indeks, 2008
Lokasi Penempatan : 371.3 Hal m


Sekilas Isi

Buku ini menggunakan banyak contoh dan kasus dari kehidupan pekerjaan guru sehari-hari. Buku ini mendorong pendidik masa depan ke dunia pengajaran memalui pemaduan contoh berharga dan lisah dunia nyata dengan banyak penerapan praktis. dalam buku ini akan ditemukan jawaban yang berharga mengenai cara penanganan siswa, kolega, pengelola sekolah.

Koleksi Buku Baru Perpustakaan Kota Tasikmalaya


Judul : The Millionare
Pengarang : Loral Langemeir
Penerbit : Andi Yogyakarta
Lokasi Penempatan Koleksi : 332.1 LAN t.1

Rabu, 10 Maret 2010

PERPUSTAKAAN KOTA TASIKMALAYA VS PERPUSTAKAAN INDRAMAYU

FENOMENA INDRAMAYU DAN PERPUSTAKAAN
Oleh:
Suherman
Pustakawan Berprestasi Terbaik Jawa Barat
Capaian prestasi yang diperoleh Kabupaten Indramyu, sebagai daerah yang berhasilan melakukan lompat IPM tertinggi di Jawa Barat, patut dijadikan pelajaran oleh kita semua bahwa pengaruh keberaksaraan atau literasi sangat signifikan dan fundamental dalam kemajuan daerah. Capaian tersebut juga boleh dikatakan revolusioner karena waktu yang diperlukan begitu singkat. Pada tahun 2006 Indramayu tercatat sebagai daerah nomor satu yang masyarakatnya paling banyak menderi buta huruf di Jawa Barat . Selain itu juga pernah dilansir penelitian bahwa Indramayu adalah daerah yang paling banyak “mengekspor” wanita tuna susila ke daerah lain di Jawa Barat dan DKI. Mungkin ini juga mengindikasikan bahwa ada korelasi antara keberaksaraan dengan tingkat kerawanan sosial. Pada tahun ini juga Indramayu mendapat penghargaan paling bergengsi dalam bidang keperpustakaan serta berhasil dinobatkan sebagai juara pertama lomba perpustakaan umum tingkat Provinsi Jawa Barat.
Indikator Kemajuan
Selain IPM (Indeks Pembangunan Manusia), sesungguhnya keberadaan perpustakaan pun dapat dijadikan indikator kemajuan sebuah daerah, negara, bahkan peradaban sebuah bangsa atau pun untuk mengetahui tingkat kemajuan intelektual—yang biasanya berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan—seorang individu. Sudah dapat dipastikan bahwa negara maju adalah negara yang paling memuliakan perpustakaan dan sebaliknya negara-negara terbelakang adalah negara yang sangat tidak peduli terhadap keberadaan perpustakaan. Dalam sebuah kesempatan presentasi di sebuah perguruan tinggi yang membuka jurusan ilmu perpustakaan terkemuka di Jawa Barat, penulis menampilkan foto-foto ruang utama dan desain bangunan Library of Congress Amerika Serikat. Dari semua peserta yang hadir tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa foto yang ditampilkan adalah foto perpustakaan. Karena Library of Congress lebih mewah dan berwibawa dari istana kepresidenan. Dari sini dapat dilihat bahwa negara adikuasa ini pantas menjadi penguasa dunia karena begitu pedulinya terhadap perpustakaan, yang pada hakikatnya sangat peduli terhadap buku dan minat baca masyarakatnya. Maka perkataan sang filusuf Francis Bacon “knowledge is power” sangat nyata kebenararannya.
Dalam skala pesonal, kita juga dapat melihat kualitas seseorang dengan melihat koleksi atau keberadaan buku, dan kalau ada, perpustakaan pribadinya. Sudah dapat dipastikan bahwa sebuah rumah yang memiliki perpustakaan pribadi adalah keluarga yang maju dan secara material berkecukupan. Tapi apa yang kita lihat di masyarakat kita adalah rumah-rumah sebagian besar steril dari bahan bacaan, termasuk rumah-rumah yang kelihatan mentereng. Sebaliknya, sejelek apa pun rumah seseorang, pesawat televisi itu pasti punya. Maka sebuah penelitian yang dilansir media massa setahun yang lalu bahwa 85,9% masyarakat kita mendapatkan informasi dari televisi sangat tidak riragukan. Celakanya, dalam penelitian Jalaluddin Rakhmat media yang sangat tidak dipercayai kesahihan beritanya di kalangan kaum intelektual adalah televisi. Dengan demikian masyarakat kita adalah masyarakat yang berbasis pada informasi yang tidak valid atau isyu dan gosip. Ini tidak jauh beda dengan perilaku masyarakat yang sebagian besar berbudaya ngoborol atau chating society bukan reading society. Di tempat-tempat umum biasanya telinga kita terganggu dengan gaduhnya orang-orang yang ngobrol baik melalui HP maupun bertatap muka dan pandangan kita akan sepi dari melihat orang-orang yang sedang membaca.
Yang tidak kalah menariknya adalah perpustakaan pun dapat dijadikan sebagai indikator kualitas kepala daerah. Semakin terpelajar seorang kepala daerah biasanya akan semakin peduli terhadap perpustakaan atau sumber belajar. Indikator ini kita dapat lihat pada diri H. Irianto MS Syarifudin yang belum lama ini memperoleh gelar doktor dengan predikat cum laude. Hal serupa juga terjadi di daerah lain seperti Halmahera Selatan dengan bupatinya Muhammad Katsuba yang juga meraih gelar doktor dengan cum laude atas kajiannya tentang manajemen berbasis nilai yang dia terapkan di daerahnya. 
Keaksaraan Fungsional?
Prestasi lain yang patut diberikan apresiasi kepada Indramayu adalah keberhasilan spektakulernya dalam menurunkan angka buta aksara dengan drastis. Dan mudah-mudahan dapat merawat dan meningkatkannya menjadi masyarakat yang gemar membaca. Karena kalau kita perhatikan banyak orang yang keliru memaknai keaksaraan fungsional hanya sebatas pada pemberantasan buta aksara atau buta huruf. Padahal sejatinya setelah terbebas dari derita buta aksara dilanjutkan pada bagaimana dapat mengerti atau faham terhadap apa yang dibacanya, dan dalam tingkat yang lebih ideal adalah memberikan sebuah kesadaran kepada diri si pembaca tentang apa yang telah bacanya. Karena tidak secara otomatis orang yang melek huruf meningkat pula kesejahteraannya. Kita dapat menyaksikan sendiri sekarang ini tenatang fenomena yang disebut dengan pengangguran “intelektual” atau pengangguran “terdidik” dengan dampak sosialnya tersendiri. Penulis sengaja membubuhkan tanda petik di kedua kata setersebut karena sangat rancu. Menurut penulis orang-orang intelektual atau terdiri tidak mungkin menganggur, yang ada adalah penganggur tamatan lembaga pendidikan baik perguruan tinggi maupun sekolah. Mereka semua jelas tidak buta huruf atau tidak bisa membaca tapi yang pasti mereka tidak mengerti atau tidak faham apa yang diajarkan di sekolah atau di PT, jangan-jangan mereka pun tidak mengerti mengapa mereka mesti sekolah atau kuliah serta para pengerjarnya pun tidak faham tentang apa yang mereka ajarkan. Karena sangat banyak yang mendorong seseorang memasuki lembaga pendidikan hanya untuk mendapatkan selembar ijazah atau sederet gelar akademik, bukan untuk mencari ilmu pengetahuan. Serta banyak para pendidik yang mengajar sebatas kewajiban dalam pekerjaan atau bukan panggilan hidup atau kecintaan terhadap profesi yang oleh Renald |Khasali disebut dengan guru inspiratif
Kegiatan keaksaraan fungsional yang sangat bagus pernah dicontohkan oleh Amir Hamzah Nasution, konsultan UNESCO yang dijuluki “Sang Penggagas” pada tahun 1960-an dalam memajukan dunia perpustakan di Indonesia. Beliau ini sangat patut diperkenalkan terutama kepada para generasi muda. Gagasannya mengenai pendidikan masyarakat melalui metode mendekatkan buku dan perpustakaan kepada masyarakat perlu digali dan dikembangkan kembali pada saat ini, misalnya melalui seminar atau workshop. Juga, kiprah beliau di manca negara dalam rangka mengentaskan buta aksara (functional illiteracy) terutama di negara-negara Afrika sehingga mampu meningkatkan daya berpikir rakyatnya yang pada gilirannya mampu melahirkan gerakan-gerakan perlawanan terhadap penindasan dan kezaliman. Pandangan-pandangannya sangat penting direvitalisasi untuk dijadikan teladan bagi para aktivis sosial kemasyarakatan. Perkataan beliau yang masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia pada saat ini adalah : “ National building itu bergantung juga kepada kemampuan membaca rakyat dan adanya perpustakaan. Untuk itu harus ada tindakan-tindakan. Hal ini menjadi lebih mendesak, karena sekarang jumlah rakyat yang buta huruf dan putus sekolah terus bertambah, kekurangan guru meningkat dan gedung sekolah banyak yang ambruk. Padahal bangsa kita kaya raya.” (Harahap, 1998: hal. 59)

Fungsi Perpustakaan
Fungsi utama perpustakaan adalah untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Tentu saja untuk melakukan fungsi ini tidak cukup hanya dengan melakukan layanan simpan-pinjam bahan bacaan (sirkulasi) dan menunggu pemustaka atau pengunjung datang ke perpustakaan. Akan tetapi perpustakaan harus proaktif dalam menarik minat masyarakat untuk datang berkunjung ke perpustakaan. Sekarang ini perpustakaan wajib hukumnya menjadi pusat kegiatan masyarakat dan pengelolaannya harus dikelola dengan menerapkan manajemen modern. Yang lebih penting lagi pengelolanya (pustakawan) juga harus berubah dari sekedar penjaga buku menjadi garda pengetahuan. Program dan kegiatan yang dibuat harus mampu menarik masyarakat untuk berkunjung atau menyadarkan masyarakat tentang pentingnya membaca buku untuk meningkatkan kualitas hidup.
Dewan Perpustakaan
Kegitan keasaraan fungsional seharusnya menjadi program perpustakaan berdampingan dengan program peningkatan minat baca. Tidak seperti yang terjadi sekarang ini, dimana keaksaraan fungsional menjadi bidang garapan dinas pendidikan sedangkan peningkatan minat baca ada dibawah badan perpustakaan. Selain itu juga terjadi egosektoral, dinas pendidikan menggarap perpustakaan sekolah sedangkan badan perpustakaan daerah hanya mengurusi perpustakaan umum. Dalam hal ini harus ada “pihak ketiga” yang dapat mensinergikan masalah keperpustakaan sehingga terjadi sinkronisasi dan harmonisasi dalam membangun masalah keperpustkaan (libaray and librarianship). Untuk itu pembentukan Dewan Perpustakaan Daerah sebagaimana diamanatkan dalam UU No.43 tahun 2007 tentang Perpustakaan harus segera direalisasikan oleh Bapak Gubernur Jawa Barat. 
Sumber :http://www.bit.lipi.go.id/masyarakat-literasi/index.php/fenomena-indramayu-dan-perpustakaan?start=2 

KAMI SANGAT HARAPKAN PERHATIAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA TERHADAP KANTOR ARSIP DAN PERPUSTAKAAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA SAMA DENGAN PERHATIAN PEMERINTAH KABUPATEN INDRAMAYU, SEMOGA...

Selasa, 09 Maret 2010

Pengurus Pusat Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Periode 2009 - 2012


Jakarta,
Kongres Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) ke XI yang diselenggarakan di Batam pada tanggal 19 - 22 Oktober 2009, telah memilih Drs. H. Supriyanto, M.Si sebagai Ketua Umum menggantikan Ketua umum Periode lalu Daddy P. Rachmananta, MLIS. Selanjutnya pada hari Kamis, 11 Februari 2010 bertempat di Aula Perpusnas RI - Jalan Medan Merdeka Selatan No.11 Jakarta Pusat, Ketua umum Pengurus Pusat Ikatan Pustakawan Indonesia Periode Tahun 2009 - 2012 melantik personalia kepengurusan PP-IPI.

Supriyanto yang juga mewakili Plt Kepala Perpusnas Liliek Soelistyowati menyatakan bahwa salah satu indikasi dari bangsa yang cerdas adalah semaraknya perpustakaan, bukan hanya gedung yang megah atau koleksinya yang lengkap, tapi bagaimana perpustakaan itu dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh masyarakat melalui layanan yang diberikan.Perpustakaan di era globalisasi tidak lagi di ukur dari banyaknya koleksi, tapi lebih pada akses atau kemudahan mendapatkan informasi tanpa dibatasi oleh ruang, jarak dan waktu. Perpustakaan mempunyai fungsi dan peran yang strategis sebagai sentra layanan informasi masyarakat dan penyangga dunia pendidikan di sekitarnya serta sumber belajar sepanjang hayat bagi masyarakat. Luasnya geografis Indonesia dan terbatasnya jangkauan pembinaan perpustakaan terutama di luar Pulau Jawa, yang dihuni sebagian besar masyarakat Indonesia, mengakibatkan pembinaan perpustakaan belum merata.

Tantangan bagi IPI sebagai wadah profesi pustakawan untuk berperan aktif dalam masyarakat seperti yang diamanatkan dalam UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan saat ini cukup kompleks. Pengurus IPI sekarang ini sudah saatnya harus bangkit, kalo tidak mau tergusur. IPI harus berjuang untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas serta profesionalisme pustakawan Indonesia.
Mencermati hal tersebut, IPI yang telah berusia 37 tahun, dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam program-programnya, sehingga kiprah pustakawan dapat dirasakan perannya oleh masyarakat. Di tingkat nasional, aspirasi daerah dalam semangat otonomi, menjadi peluang untuk bermitra dengan pemerintah daerah dan organisasi profesi lainnya.
Di tingkat regional, IPI menjadi anggota aktif dalam CONSAL (Congress of Southeast Asia Librarians) dan di tingkat internasional, IPI juga menjadi anggota aktif IFLA (International Federation of Library Organization and Institution). “Untuk itu, yang perlu dilakukan IPI saat ini adalah memperkuat posisi dan eksistensinya dalam masyarakat, “ lanjutnya.

Daftar nama Pengurus Pusat Ikatan Pustakawan Indonesia (PP-IPI) Periode 2009-2012 adalah sebagai berikut:

Dewan Pembina: Kepala Perpustakaan Nasional, H. Hernandono MLS, MA., Prof. Dr. Sulistyo Basuki, Dra. AA. Kalangi Pandey, WW. Sayangbati Dengah, Drs. Paul Permadi.

Ketua Umum : Drs. H. Supriyanto, M.Si
Wakil Ketua : DR. H. Zulfikar Zen, MA
Ketua I : H.T. Syamsul Bahri, SH.,M.Si
Ketua II : Dr. Ujang Tholib, MA
Ketua III : Dra. Hj. Harkrisyati Kamil
Sekretaris Jenderal : Drs. H. Bambang Supriyo Utomo, M.Lib
Sekretaris : Markus Tendean, S.Sos
Bendahara : Johartien Ramona, SIP
Wakil Bendahara : Ir. Djati Wahyuni, MM

Komisi Organisasi & Keanggotaan :
Drs. H. Widiyanto, MSi., Sujono Harjosaputro, SIP., Drs. Ahmad Fauzi Asran, Dra. Hj. Budhiati, MM.

Komisi Penerbitan dan Publikasi:
Kosam Rimbarawa, MLS., Dra. Utami B Haryadi, M.Lib.,M.Si, Drs. Agus Sutoyo, MSi., Dra. Lies Suliestyowati, MSi.

Komisi Pengembangan Pendidikan, Pelatihan dan Sertifikasi:
Dra. Hj. Woro Titi Haryanti, MA., Dra. Hj. Luki Wijayanti, MSi., Dra. Titiek Kismiyati, MHum., Drs. H. Ahmad Masykuri, MM.


Komisi Usaha Dana :
Hj. Siti Mardiyah, S.Sos.,MSi., Dra. Winda FM Habimono, Drs. H. Sudirwan Hamid, MH., Robinson Rusdi, SH.,MH.

Komisi Pengabdian Masyarakat dan Pembudayaan Kegemaran Membaca: Drs. Deni Kurniadi, M.Hum., M. Ihsanudin, M.Hum., Drs. Arifin Hidayat, MM., Dra. Fuad Munir, MSi.

Komisi Pengembangan Citra:
Drs. Fuad Gani, MA., Dra. Arifah Sismita, M.Si., Dra. Lucy Dhamayanti, M.Hum., Dra. Harmaini HNS.

Sekretariat:
Dra. Nani Suryani, Afrison S

Sumber : pnri.go.id
oleh: rudianto, 17 Februari 2010

Kamis, 04 Maret 2010

Arsip Sejarah

Sebuah arsip dan menghadirkan kembali sebuah peristiwa perjuangan Bangsa ini yang telah terjadi puluhan tahun yang lalu. salah satu contohnya adalah dokumentasi kegiatan Konfrensi Meja Bundar di Belanda.
Sumber : www.anri.go.id

Sumber : www.anri.go.id
 
Sumber : www.anri.go.id

Rabu, 03 Maret 2010

Lokasi Perpustakaan Daerah Kota Tasikmalaya tidak Strategis

Keberadaan Perpustakaan Daerah (Perpusda) Kota Tasikmalaya, Jawa Barat lokasinya dinilai tidak srategis untuk dapat didatangi warga masyarakat.
 
Drs. Dadang Samsul Huda, M.Si.

"Perpustakaan disini itu sudah cukup memadai, tapi lokasinya tidak strategis, sehingga saya rasa masyarakat malas untuk datang ke sini," kata Kepala Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kota Tasikmalata, Dadang Samsul Huda, Senin.

Kantor Perpusda berada di jalan Ir Juanda diantara komplek perkantoran dinas cukup jauh dari pusat keramaian kota Tasikmalaya, dan jauh dari pinggir jalan raya.
 
Lokasi Perpustakaan Kota Tasikmalaya saat ini

Selain itu kata Dadang jalan Ir Juanda tidak terlalu banyak dilewati angkutan umum, sehingga masyarakat yang ingin berkunjung ke perpustakaan daerah terkadang malas.

"Idealnya perpustakaan daerah itu ada di pusat kota yang mudah diakses masyarakat," katanya.

Ia berharap keberadaan perpustakaan daerah berada di sekitar masjid Agung atau berdekatan dengan banyaknya aktifitas masyarakat di pusat kota Tasikmalaya. Kami mengharapkan bila nanti ada penyerahan aset dari pemerintah Kabupaten Tasikmalaya ke Pemerintah Kota Tasikmalaya, kami harapkan gedung DPRD Kabupaten Tasikmalaya dijadikan sebagai Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kota Tasikmalaya, karena gedung ini sangat strategis dan luas gedung dan ruang rapat sangat cocok untuk dijadikan ruang koleksi dan ruang baca perpustakaan.

 
Lokasi yang dianggap strategis berada di sekitar Masjid Agung Kota Tasikmalaya

Kata Dadang harapan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan pengunjung perpustakaan dan minat baca terhadap masyarakat Tasikmalaya di kalangan pedagang atau karyawan yang ingin membaca untuk meningkatkan ilmu dan pengetahuan dari manfaat membaca.

"Kalau lokasinya jauh dari pusat kota, bagaimana meningkatkan minat baca, karena selama ini yang kebanyakan hanya dari kalangan pelajar," katanya.

Sementara itu kata Dadang pengunjung perpustakaaan terhitung hingga November 2009 berkisar antara 50 hingga 60 orang setiap hari dari berbagai kalangan pelajar tingkat menengah, mahasiswa dan umum.

Ia menerangkan koleksi buku diperpustakaan daerah kota Tasikmalaya tergolong komplit berjumlah 30 ribu eksemplar buku dengan dari 10 ribu judul buku diantaranya tentang pengetahuan umum dan keagamaan.

"Buku yang ada disini itu sudah kumplit, kalau perpustakaan berada di tempat strategis maka dari kalangan pedagang dan masyarakat biasa diharapkan berkunjung," katanya.***3***

Sumber : Antara Jawa Barat News.
Feri Purnama

Selasa, 02 Maret 2010

Koleksi Kitab Hadist Perpustakaan Kota Tasikmalaya

 
Kitab Shahih Riyadusha-Shalihin


Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah


Sunan Abu Daud


Shahih Sunan Tirmidzi


Musnad Imam Ahmad


Syarah hadits Qudsi


Shahih Sunan Nasa'i


Ringkasan Shahih Bukhari
KITAB HADIST TERSEBUT DAPAT ANDA BACA DI RUANG REFERENSI PERPUSTAKAAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA

Senin, 01 Maret 2010

Lokasi Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kota Tasikmalaya

Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kota Tasikmalaya berada di Kompleks Perkantoran Kota Tasikmalaya

Koleksi Kitab Hadist Perpustakaan Kota Tasikmalaya

 
Sunan Ad-Darimi


Al Muwathha' Imam Malik


Shahih Ibnu Hibban

Sunan Ad-Daruqutni


Musnad Imam Syafi'i


Shahih Riyadhush-Shalihin


Shahih Ibnu Khuzaimah 

KITAB HADIS INI ANDA DAPAT BACA DI PERPUSTAKAAN KOTA TASIKMALAYA